Ulos
(lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah
hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut
catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat
Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari
India.Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam
suatu kurun sejarah.
Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum
datangnya pengaruh Barat. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut "hande-hande” sedang bagian bawah disebut "singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut "tali-tali” atau "detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut "haen”, untuk penutup pungung disebut "hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut "ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut "saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut "hohop-hohop” sedangkan untuk menggendong disebut’ "parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan d
an hany
a dipakai pada wak
tu tertentu saja.
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari
itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari
mertua kepada menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman
(tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak
yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan
pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol
kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang
dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos, yang memang
penting juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan
melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang
Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk
(ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah a
tau sawah. Pada keadaan
tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang
tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah
ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang
fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70
cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh)
ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau
berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para
peremp
uan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan
jaman dahulu mungkin saja para penenun memiliki ketentuan khusus menenun
yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan
kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak,
namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu:
membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut
rota
n, atau mengambil nira).
Proses pembuatan ulos batak
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama
yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah
ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai
sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon)
dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan
ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu
diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam
kebiru-biruan yang disebut "itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada
lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya.
Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu
diaduk hingga larut. Ini disebut "manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain
pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu
proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan
waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang
sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh
dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga
mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut "mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk "diunggas”
agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi
nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang
dikeringkan. Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis
warna. Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna
yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah "mangani”. Benang
yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa
cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat
tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang
sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan
tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya
diperkenankan membuat ulos "parompa” ini disebut "mallage”
(ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari
jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan.
Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh
buah lidi atau disebut "marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.