| MANANDA ULOS BAGIAN II
Jenis dan Tata Cara Penggunaannya
1. Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga "ulos naso ra pipot atau "pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos "homitan” yang disimpan di "hombung” atau "parmonang-monangan”
(berupa lemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak,
ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang
sudah "saur matua” atau kata lain "naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan
walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua
tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur
matua. Hanya orang yang disebut "nagabe” sajalah yang berhak
memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak
bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan
benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering
menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama
dengan "sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu
pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu
jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup
Ulos
ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini
adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat
pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita
maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun
oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk "mangupa tondi”
(mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga
dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya
dengan suhut yang lain, yang dalam versi "Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok "sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan "martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”,
yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak
yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata
putus (putusan terakhir). Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan
siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini
dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan
secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan
kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa)
dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos
(tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang.
Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu
kesatuan yang disebut ulos "Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut "hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos "sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos "Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos "Pansamot”
(untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan
kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi
Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos "Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah
kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan
ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti
terikat. Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang
dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi
(corak) tersebut.
4. Ulos Sadum
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai
untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai
sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat
Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini
dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang
burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di
Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini
sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan
bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi
sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke
daerah.
5. Ulos Runjat
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos "edang-edang”
(dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan
kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan
Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban
(kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik
pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu "mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang
hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai
hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada
waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk
keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol,
sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya
menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan
orang. Untuk ulos "saput” atau ulos "tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai "tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut "ulos pamontari”.
Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini
dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah
sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai
sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande.
Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula
menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai "ulos tondi”
kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai
sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi
ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit
pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai
dua ulos.
8. Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan
kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai
ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak
akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya
seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian
sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi
kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu
upacara "mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat
dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu.
Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis "Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang
yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia
dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal "sinadongan”
(kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya
berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari
dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai
sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan
ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang
wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang
anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai
sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos
panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung
keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan "tuho” atau "tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit
Ulos ini jenis ulos "nanidondang” atau ulos paruda
(permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut.
Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja
untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu
menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh
saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad
XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk
permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara "manjungkit”
(mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan
kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya
sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka
kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik
didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain
songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai
pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu
bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya,
karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang
yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah
diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya
orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan
rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos "giun hinarharan”.
Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya
yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang
dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi
Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna,
Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos
Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos
Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam
upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak
tanpa membicarakan ulos yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
| |