| MANANDA ULOS BAGIAN III Pemberi dan Penerima Ulos
Dalam adat dan budaya batak Ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang
dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Menurut
tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos
sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos "na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos "parompa” dahulu dikenal dengan ulos "paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos "marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos "hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos "saput”.
1. Ulos Saat Kelahiran
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir
tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut
anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. - Bila
yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan
anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya
saja (mar amani… ).
- Sedang bila anak tersebut adalah
anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe
goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni…
).
Gelar ompu… bila gelar tersebut
mempunyai kata sisipan "si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat
dari anak sulung perempuan (ompung bao). Bilamana tidak mendapat kata
sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung
laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah
ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk
ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring
dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos
sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah,
yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos
bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang
mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah
dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos
dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos
parompa boleh saja ulos mangiring.
2. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos "si tot ni pansa” yaitu; - Ulos marjabu (untuk pengantin),
- Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki,
- Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah,
- Ulos simolohon diberikan kepada
iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka
ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut
sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh
pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang
diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan
tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila
perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon
jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut "ragi-ragi ni sinamot”.
Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari
sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam
suku Batak disebut "malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk
mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima "goli-goli”
dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya
(margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah
"ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh
hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan
(manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut "ulos marjabu”.
Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka
dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua
laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara
terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata
cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak
dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos
biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata
yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan
penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk
kepada umum dengan mengucapkan "h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki
atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa
dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni
pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan
oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek). Setelah
ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari
tulang (paman) pengantin laki-laki. Tata cara urutan pemberian ulos
adalah sebagai berikut; - Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan,
- Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot,
- Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai),
- Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan,
- Dan yang terakhir adalah tulang
pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot
yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak
2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan
oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin
laki-laki, inilah yang disebut "tintin marangkup”.
3. Ulos Saat Kematian
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah
ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status
memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat
diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut "parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas
tataring) maka kepadanya diberi ulos "saput” dan yang ditinggal (duda,
janda) diberikan ulos "tujung”.
Bila
yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan
keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos "Panggabei”.
Ulos "jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang
pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak
"tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan
kemenakan (berenya). Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini
penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada
acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah
berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini,
disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos
saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni
roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka
(mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat
dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung,
tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk
cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio).
Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi
(panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari
yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang
ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan
penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka
seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei.
Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi
kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini
jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona
tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula
cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat
lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup
besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak
hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam
perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak
borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora.
Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos
dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan "dalihan na tolu”
(tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat
batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan
saling hormat menghormati. Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos
ialah : - Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot).
- Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan).
- Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering
kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan
Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada
kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Pergeseran Makna Ulos
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus
diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos.
Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu
laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau
lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat.
Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau
pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh
Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai
pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai
kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena
jarang dipakai) jadi malah dianggap "keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu "magis” atau "keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan
jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen?
Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus:
bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah
dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa
dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh.
Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau
jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama
diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang
Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis
binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban
Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau
minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17).
Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya :
boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau
mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh
Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium
(pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang,
bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi
sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan
kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula
dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk
borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru.
Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu
tangan, tongkat dll.
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur
itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang
yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah
pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan
oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita – ulos
atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau
momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita
kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan:
kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang
mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos –
tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya
memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat
berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses
pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan
khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos
hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos
itu berharga karena dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin
disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita,
atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan
suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita
mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita
menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada
waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan?
Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak
trend atau kecenderungan sebagian orang "mengobral ulos”: memberi
atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena
terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak.
Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri
kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos
(kostum, tekstil), tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran,
kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan
terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu
diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat
konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil
menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik,
ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama
kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih
substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar
meributkan asesori atau kostum belaka.
Dibuat suan lapo ni tetangga : http://togadebataraja.blogspot.com/
| |