| Bunyi /a/ ini dapat dihapus dengan menggunakan tanda
mati yang berbentuk garis miring terbalik.: lk\lk\
laklak. Bunyi /a/ yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi
vokal lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf g /ga/ misalnya dapat diubah menjadi gE /ge/ seperti dalam
kata bligE Balige. Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi
/ng/ atau /h/ pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr
Bangkara, atau rumh rumah [K]. Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^
pating [K], reh
reh [K]. Bila terdapat kombinasi
dari anak ni surat
yang letaknya di belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat
/h/ atau /ng/ (yang terletak di atas-kanan ina
ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/ agak
bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak
ni surat i, u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi. Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan
- Vokal - Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal
selalu diletakkan di antara ina ni surat yang kedua dan tanda
mati seperti terlihat pada contoh ini: gko\ gok;
borti- borit [S]; sni-tk- sintak
[K].
Aksara /a/ dan /h/
Menurut Voorhoeve , makna asli huruf a adalah /ha/ dan huruf k bermakna /ka/, tetapi dalam
dialek-dialek selatan a selalu dieja /a/ dan k bermakna /ha/ atau /ka/. Pada kelompok Batak Utara, a selalu bermakna /a/ atau /ha/ dan k menjadi /ka/ seperti
dapat dilihat pada tabel berikut:
Karo
|
aku aku
|
|
Simalungun
|
aK ahu
|
Pakpak
|
aK aku
|
|
Toba
|
aK ahu
|
|
|
|
Mandailing
|
|
Huruf a juga digunakan sebagai penopang
vokal. Karena surat Batak
hanya mengenal dua ina ni surat yang bermakna vokal, ialah /i/ dan /u/, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal /e/, /e-pepet/, dan /o/ berada pada
awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca /e/, ao dibaca /o/ dan sebagainya: aEtkE\ etek,
aakE\ aek, amo\P ompu,
ani\d inda, aN\d^ undang (perihal kedua contoh terakhir
lihat juga bab 7.3).
Aksara /i/ dan /u/
Aksara ina ni surat
I/i/ dan U/u/ hanya digunakan
di awal suku kata terbuka (UL ulu, pI<to\ paingot). Bila sebuah suku kata
tertutup diawali dengan bunyi [i] atau [u] maka vokal tersebut diwakili oleh
kombinasi huruf a dan anak ni surat /i/ atau /u/ (aM\pm
umpama, ani\D^
indung). Aturan ini juga berlaku
bagi suku kata yang dimulai dengan vokal-vokal lainnya: (amo\P
ompu, aolo
olo, aems- emas
[K]).*K Di surat
Batak versi Karo, huruf I dan U boleh dipakai, boleh
tidak. Di mana pun posisinya, I selalu dapat diganti
dengan ai, dan U boleh diganti dengan
au. Dengan demikian, kata iluh dapat ditulis ailuh atau Iluh. Di semua surat Batak
lainnya terdapat kecenderungan untuk selalu menggunakan I dan U bila berada pada posisi
awal suku kata terbuka.
Vokal Ganda dan Diftong - Aksara /w/ dan /y/
Karena fonem [y] dan [w] tidak terdapat pada bahasa Batak
Toba, maka aksara /ya/ dan /wa/ tidak perlu bila menulis surat
Batak versi Toba. Namun demikian, huruf y /y/ dan w /wa/ sering dipakai, juga dalam naskah-naskah Batak Toba, untuk
menyambungkan dua vokal. Kata reak, misalnya, dapat ditulis reak\ atau reyk\ dan demikian juga terdapat varian Da (dua) dan Dw (duwa). Tidak jarang kita menjumpai kedua varian pada satu naskah.Di Karo dan Simalungun vokal ganda selalu harus disambungkan
dengan menggunakan w dan y. Dalam surat
Batak versi Karo, kata sea selalu ditulis sEy (seya) dan tidak pernah sEa (sea); demikian juga dengan
kata dua yang harus ditulis duw. Di semua surat Batak,
w dipakai untuk menyambung vokal
ganda yang dimulai dengan vokal /u/ atau /o/ (yakni ua, oa, oe, dan ue),
sedangkan y menyambung vokal ganda yang
berawal /e/ atau /i/ (yakni ia, io, ea, dan eo). *K Di Karo, diftong
[ai] biasanya ditulis /e/: kata nai biasanya ditulis nE (ne), tetapi kadang-kadang varian nyi (nayi) digunakan juga. Setahu
saya, kebiasaan ini hanya ada di Karo, sedangkan dalam naskah-naskah Toba
dan Mandailing diftong [ai] seperti dalam contoh kata sai selalu ditulis sai (sai), dan dalam hal ini s
mewakili /sa/ dan ai /i/. Diftong [au] tidak lazim digunakan di Karo. Di antara
beberapa kata yang menggunakan diftong [au] terdapat kata lau (air, sungai) dan laut (laut). Dalam naskah-naskah
Karo, lau selalu ditulis layo,
dan laut selalu ditulis lawit. Dalam naskah Toba dan Mandailing,
diftong /au/ selalu ditulis seperti dalam kata saT\, yaitu s /sa/ - aT\ /ut/. *S Pada naskah Simalungun
huruf w dan y sering digunakan untuk
menulis kata yang berawal vokal. Dengan demikian, ulang
sering ditulis wulang, dan on ditulis won. Kata yang berawal bunyi /i/
dan /e/ juga sering ditulis dengan y. Diftong [ei] sering terdapat dalam bahasa Simalungun,
misalnya dalam kata atei atau tarsulei. Kedua kata ini biasa ditulis atE ate
dan tr-SlE tarsule. Kadang-kadang huruf /ya/ dipakai untuk menambah vokal /i/: atEyi atei,
tr-SlEyi, tarsulei.
Nasalisasi dan aksara /mba/ dan /nda/ (K)
Salah satu ciri khas surat Batak versi Karo adalah bahwa
bunyi sengau [m], [n], dan [ng] yang terdapat sebelum konsonan /b/, /c/, /d/,
/g/, /j/, /k/, dan /p/ tidak ditulis. Dengan demikian, kata panta selalu ditulis pt. Demikian juga dengan kata tonggal yang selalu ditulis togal, banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih,
sampur menjadi
sapur dan sebagainya:
banci
=baci
|
bci
|
|
tonggal
=togal
|
togl-
|
nande
=nade
|
ndE
|
|
lanja
=laja
|
lj
|
sampur
=sapur
|
spru-
|
|
tangkal
=takal
|
tkl-
|
Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara /nda/ dan /mba/. Tingkat penggunaan
kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 40% naskah Karo
yang menggunakan aksara itu. Kemungkinan besar kedua aksara tersebut masih
relatif baru, meskipun telah digunakan pada naskah Karo yang paling lama.
Perlu dicatat bahwa umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum
di dalam dan di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.
Kendala Morfemik
Seperti sudah disebut di atas, surat Batak sebenarnya
bukan abjad karena tidak benar-benar fonetis. Hal itu juga tampak
dari kenyataan bahwa hanya seorang yang mengetahui bahasanya dapat
menulis surat Batak. Jika kita disuruh menulis kata marina dengan
menggunakan huruf Latin, kita dapat melaksanakan hal itu dan bisa
menulis kata yang diucapkan tadi tanpa kesalahan walaupun kita
tidak mengerti katanya. Ialah karena abjad Latin pada hakikatnya
fonetis. Lain halnya jika kita disuruh menulis kata yang sama
dengan surat Batak. Jika kita tidak menguasai bahasa Batak Toba,
tentu kita akan menulis mrin karena kita
tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua
morfem yakni awalan {mar} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik
inilah yang turut mempengaruhi cara menulis surat Batak, dan ada
kecenderungan untuk menandai batas-batas morfemis dengan menulis
mr\In Demikian juga dengan kata taringot tr\I<to\
atau parulian pr\Ulian\. Perlu
dicatat, bahwa aturan ini tidak selalu diperhatikan oleh penulis
naskah-naskah Batak. Cukup banyak naskah yang menulis kata
maringan mri<n\ dan bukan
mr\I<n\.
Konsonan ganda
*KP Dalam
bahasa Karo dan Pakpak terdapat banyak kata yang mempunyai
struktur KVKVK di mana vokal pertama merupakan pepet (e lemah).
Dalam hal ini, konsonan yang mengikuti pepet itu dapat dieja
ganda: misalnya kata belin 'besar' bila
diucapkan pelan-pelan ejaan menjadi bel-lin. Dengan
demikian, struktur kata sebenarnya bukan KVKVK, melainkan terdiri
dari dua suku kata yang masing-masing berbunyi KVK. Penulisannya
bisa belni- belin atau ble-lni-
bellin.
Contoh lain adalah: be-ne dan
ben-ne,
te-mbe
dan tem-mbe dan sebagainya. Penggandaan konsonan seperti itu
adalah gejala yang umum sekali dalam naskah Pakpak dan
Karo.
Awalan -er
*K Pada naskah Karo awalan er- selalu menjadi
re-, misalnya erkeriken ditulis rekeriken. Hanya pada beberapa
naskah saja terdapat bentuk are-kerikne-
(herkeriken).
Nunga be sidung, jadi sian on do disadur : http://www.hawaii.edu/indolang/surat/
| |